RSS

Negosiasi Ulang Kontrak Asing

Pada peringatan Hari Pancasila 1 Juni lalu, ada banyak pernyataan menarik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dua mantan presiden B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Salah satu yang menonjol adalah pernyataan Habibie yang menyebut adanya perusahaan zaman kolonial Belanda VOC bentuk baru di era globalisasi ini. 

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) gaya baru ini melakukan pengalihan kekayaan alam satunegara ke negara lain, yang kemudian mengembalikan ke negara asal sebagai produk turunan bernilai tinggi. "Ini penjajahan dalam bentuk baru," kata Habibie. 

Presiden SBY pun sependapat. "Mari kita ubah agar tidak terjadi lagi di masa depan," ucapnya. Karena itu, pemerintah menganalisis ulang kontrak-kontrak yang sudah ada. Apakah kontrak tersebut sudah benar-benar logis dan menguntungkan negara. "Manakala kontrak itu sangat mencederai rasa keadilan dan tidak logis, ada pintu sebetulnya untuk bicara baik-baik renegosiasi, dengan catatan dalam rangka sanctity of contract." 


Wacana tentang renegosiasi kontrak pengerukan kekayaan alam oleh perusahaan asing ini sebelumnya telah muncul pada 2007. Renegosiasi yang didesakkan adalah di bidang pengeboran minyak dan gas bumi, serta pertambangan mineral.

Desakan pada saat itu terjadi tepatnya ketika pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2001 Joseph E. Stiglitz berkunjung ke Indonesia. Stiglitz menyatakan, eksploitasi yang dilakukan perusahaan multinasional di negara berkembang sering kali dianggap sepenuhnya sah. Sebagian besar negara berkembang dinilainya tidak mampu terlibat dalam negosiasi canggih yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional.

Dia menduga negara-negara itu tidak mengerti implikasi penuh dari setiap klausul di dalam kontrak. Karena itu, Stiglitz menyarankan pemerintah Indonesia agar berani melakukan negosiasi ulang. Temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pun menunjukkan, sejak 2002-2005 potensi penyelewengan cost recovery oleh kontraktor kontrak kerja sama migas mencapai Rp 18 triliun.

Tentu saja untuk melakukan negosiasi tersebut bukan hal mudah. Memang ada contoh menarik dengan langkah Venezuela dan Bolivia, yang berhasil memaksa perusahaan multinasional menaikkan jatah pendapatan bagi kedua negara ini. Banyak pihak di dunia mengecam langkah sepihak kedua negara itu. Tetapi pemerintah kedua negara itu bergeming.

Untuk Indonesia, mungkin langkah terbaik yang dilakukan adalah perundingan, bukan pemaksaan. Prinsip kehati-hatian memang harus tetap dijaga. Pasalnya, investasi di bidang migas khususnya, butuh biaya besar yang tak sepenuhnya bisa didanai pemerintah sendiri.

Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar